All I want is for everything in the right place
And everyone is happy
Is it too much ask for?

Dua tahun lalu, aplikasi Spotify di gadget gue secara random memainkan lagu tersebut. Dear Diary yang dibawakan oleh Mocca Band memiliki nilai tersendiri yang dapat gue resapi kendati berkiblat pada makna sebenarnya dari dituliskannya lagu tersebut.

Ini bukan sekedar remeh-temeh cinta. Ini adalah fakta pahit yang seakan mengamini situasi dimana hidup gak akan pernah adil. Dimana daya dan karsa gak selalu menciptakan hasil yang yang sesuai ekspektasi. Dan tentu juga, dimana setiap tindakan dan keputusan yang kita ambil enggak akan pernah membuat semua orang bahagia.

Selalu, Akan Ada Golongan yang Dikorbankan Demi Mewujudkan Sebuah Impian

Gambar Disediakan Oleh: Adobe Spark Post

Dari kasus dengan level terendah hingga tertinggi, idealisme adalah nol jika kita membahas keadilan.

Teknologi dan kenyamanan yang kita nikmati saat ini, semua berasal dari kesakitan dan penderitaan para pendahulu yang mungkin menumbalkan banyak hal—termasuk nyawa manusia—guna mendukung eksplorasi sains. Juga, jangan lupakan pula peperangan yang termaktub dalam catatan sejarah demi mewujudkan sistem masyarakat yang ideal.

Kita semua adalah produk dari apa yang kita kenal sebagai kekerasan. Akan tetapi tanpa fase itu, kita hanyalah mahkluk gak berakal. Pun akan banyak kematian sia-sia yang timbul karena minimnya pengetahuan yang peradaban kita miliki.

Terdengar bengis, kejam, egois? Benar. Sangat jauh dari pemahaman telanjang kita terhadap keadilan yang idealnya membuat semua orang puas dan bahagia. Namun, apakah keadilan harus selalu membuat semua orang bahagia?

Adil ≠ Sama

Gambar Disediakan Oleh: Adobe Spark Post

Pernah merenungkan betapa gak adilnya hidup yang driver ojol jalani? Mereka yang berpanas-panasan, mereka yang bertaruh nyawa mengukur jalan, mereka yang basah kuyup tatkala jatuhnya hujan, kerja lebih dari 8 jam per hari, akan tetapi penghasilan bulanannya mungkin kurang dari 10% penghasilan petinggi perusahaan aplikasi. Ada juga kurir, satpam, cleaning service, kuli bangunan dan pekerja kasar lain yang gajinya mungkin habis untuk dipakai makan siang satu kali oleh bos-bos besar di gedung perkantoran ibukota.

Lantas, dimana keadilan? Jika lo bingung menjawabnya, berarti lo buta. Keadilan ada di depan mata. Keadaan di atas adalah cetak jelas sebuah sistem keadilan yang sedang berjalan. Hal ini pernah gue bahas di salah satu Jurnal yang menyoroti tentang ketidakadilan.

“Ketidakadilan” inilah yang sejatinya menyempurnakan eksistensi keadilan. Sekali lagi, tentu saja gak semua orang bahagia. Gak semua orang merasa puas dengan upah kecil mereka yang mungkin di bawah standar minimum. Tapi semuanya harus terus bergerak. Sudah semestinya roda tetap berputar demi mewujudkan sistem operasi kehidupan.

Belajar Merelakan Sungkan Tatkala Memberatkan Segelintir Golongan

Sebagai manusia yang ambisius, gue percaya bahwa gak ada satupun ilmu di dunia ini yang gak bisa dikuasai jika didalami. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, gue mulai menemukan kesulitan ketika dihadapkan pada pelajaran tentang menjalani hal-hal yang menggores nurani.

Gue bukan tipikal manusia yang mudah memarahi dan menyuruh-nyuruh orang dalam mendelegasikan tugas yang harus diselesaikan. Namun saat ini gue ada di titik itu. Mau gak mau, gue harus menyingkirkan rasa sungkan itu. Gue harus menyiapkan mental supaya tetap kuat ketika segelintir individu menyimpan kebencian terhadap gue.

Ya, gue rasa ini tanda. Gue rasa ini sebuah sinyal dimana gue telah dan harus menjadi dewasa. Bertransformasi menjadi manusia yang seutuhnya realistis. Gue harap, siapapun yang merasa gue perlakukan dengan kurang baik dapat paham. Bahwa sejatinya setiap keputusan yang gue ambil demi mewujudkan impian bersama gak akan pernah bisa membuat semua orang bahagia.

Satu tanggapan untuk “Jurnal XXVI: You Can’t Make Everyone Happy

Tinggalkan komentar